Puasa pada hari kelahiran dengan niat ‘puasa weton’ memang tidak ada dalam aturan Syariat fikih kita, namun bukan berarti dilarang, sebab di dalam fikih kita ada istilah puasa sunah Mutlaq sebagaimana ada shalat sunah Mutlaq. Untuk memudahkan dalam memahami masalah ini, sistematika pembahasan ini saya mulai dari jenis-jenis puasa Sunah yang memang sangat banyak jumlahnya. Puasa Arafah (9 Dzuhijjah)
سُئِلَ رَسُوْلُ اﷲِ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ عَرَفَةَ ٬ فَقَالَ ׃ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ٠
|
"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang puasa hari 'Arafah, maka jawab beliau: "Ia menghapus dosa-dosa di tahun lalu dan yang akan datang." (H.R. Muslim: 1162)
Puasa Tarwiyah (8 Dzuhijjah)
صَوْمُ يَوْمِ التَّرْوِيَّةِ كَفَّارَةُ سَنَةٍ وَصَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ (رواه أبو الشيخ ابن حبان في كتاب الثواب على الأعمال وابن النجار في تاريخه عن ابن عباس)
|
“Puasa hari Tarwiyah menghapus dosa setahun dan Puasa ‘Arafah menghapus dosa dua tahun” (HR Ibnu Hibban dan Ibnu an-Najjar dari Ibnu Abbas)
Puasa Asyura’ (10 Muharram)
اَنَّ رَسُوْلُ اﷲِ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صِيَامِ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ ٬ فَقَالَ ׃ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ٠
|
"Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang puasa Hari 'Asyura, maka jawab beliau: "Menghapuskan dosa-dosa tahun lalu. " (H.R. Muslim: 1162)
Puasa Tasua’ (9 Muharram)
لَئِنْ بَقِيْتُ اِلَى قَابِلٍ لاَصُوْمَنَّ التَّاسِعَ
|
"Andaikan aku masih hidup sampai tahun depan, niscaya aku berpuasa pada hari kesembilan." (H.R. Muslim: 1134) Puasa Hari Putih (Purnama) Yaitu tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan. Disebut malam putih, karena pada tanggal-tanggal tersebut malam begitu terang dengan adanya bulan purnama.
اَوْصَانِىْ خَلِيْلِىْ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلاَثٍ ׃ صِيَامِ ثَلاَثَةٍ اَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ٬ وَرَكْعَتِى الضُّحَى ٬ وَاَنْ اُوْتِرَ قَبْلَ اَنْ اَنَامِ٠
|
"Kekasihku (Nabi Muhammad) pernah berpesan kepadaku tiga perkara: berpuasa tiga hari setiap bulan, shalat Dhuha dua rakaat dan shalat Witir sebelum tidur." (HR Al-Bukhari) Puasa Hari Gelap (Akhir Bulan) Dalam madzhab Syafiiyah puasa ini disebut dengan Ayyam As-Suud, yaitu malam-malam gelap mulai 28-29-30 Qamariyah.
(صُوْمُوْا الشَّهْرَ) يَعْنِي أَوَّلَهُ .. (وَسَرَرَهُ) بِفَتَحَاتٍ أَيْ آخِرَهُ كَمَا صَوَّبَهُ الْخَطَّابِي وَغَيْرُهُ وَجَرَى عَلَيْهِ النَّوَوِي (فيض القدير ج ٤ / ص ٢٨٠)
|
Hadits: “Berpuasalah di awal bulan dan di akhir bulan” (HR Abu Dawud dan Baihaqi). Maksudnya adalah puasa di akhir bulan seperti yang ditegaskan oleh Khattabi dan lainnya dan disetujui oleh An-Nawawi [Faidl Al-Qadir, 4/280]
Puasa 6 Hari Syawal
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ، ثُمَّ اَتْبَعَهُ سِتّا مِنْ شَوَّالٍ ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ٠
|
"Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian dilanjutkan dengan enam hari pada bulan Syawal, maka seperti berpuasa sepanjang tahun." (HR Muslim)
Puasa Dawud
قَالَ : فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا ، فَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ - عَلَيْهِ السَّلاَمُ وَهْوَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ
|
Nabi bersabda: “Maka berpuasalah sehari lalu tidak puasa sehari [dan seterusnya]. Itulah puasa Dawud 'alaihi salam. Dan itu adalah puasa yang paling utama” (HR al-Bukhari)
Dalil Puasa Sunah Mutlaq
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ فَقُلْنَا لاَ قَالَ فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ (رواه مسلم ١٩٥١)
|
Aisyah berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada saya lalu bertanya: "Apa ada makanan? Kami menjawab "Tidak ada". Rasulullah berkata: Kalau begitu saya berpuasa" (HR Muslim No 1951)
Imam Nawawi berkata :
وَفِيهِ دَلِيلٌ لِمَذْهَبِ الْجُمْهُورِ أَنَّ صَوْم النَّافِلَة يَجُوز بِنِيَّةٍ فِي النَّهَارِ قَبْل زَوَالِ الشَّمْسِ (شرح النووي على مسلم ج ٤ / ص ١٥٧)
|
“Hadits ini adalah dalil bagi mayoritas ulama bahwa puasa sunah boleh diniatkan di siang hari sebelum tergelincirnya matahari (Dzuhur)” (Syarah Muslim 4/157).
Dapat kita jumpai dalam literatur ulama Salaf yang menganjurkan puasa Mutlaq tanpa dalil secara khusus, yaitu puasa untuk shalat Istisqa’ seperti yang disampaikan oleh Imam Ramli yang dijuluki Syafi’i Shaghir ini :
( وَيَأْمُرُهُمْ الْإِمَامُ ) اسْتِحْبَابًا أَوْ مَنْ يَقُومُ مَقَامَهُ ( بِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ) ( أَوَّلًا ) مُتَتَابِعَةٍ مَعَ يَوْمِ الْخُرُوجِ ؛ لِأَنَّ الصَّوْمَ مُعِينٌ عَلَى الرِّيَاضَةِ وَالْخُشُوعِ وَصَحَّ { ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ : الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ ، وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ ، وَالْمَظْلُومُ } وَالتَّقْدِيرُ بِالثَّلَاثَةِ مَأْخُوذٌ مِنْ كَفَّارَةِ الْيَمِينِ ؛ لِأَنَّهُ أَقَلُّ مَا وَرَدَ فِي الْكَفَّارَةِ (نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج : ج ٧ / ص ٤٥٨)
|
“Hendaknya sebelum melakukan shalat Istisqa’ (minta hujan), pemimpin atau yang berwenang lainnya memerintahkan mereka untuk puasa 3 hari terlebih dahulu secara terus menerus bersamaan hari akan dilaksanakannya shalat Istisqa’. Sebab puasa dapat menolong pada riyadlah (olah batin) dan khusyuk. Disebutkan dalam hadis sahih: “Ada 3 yang dikabulkan doanya, orang puasa hingga berbuka, pemimpin adil dan orang yang dianiaya” [HR Tirmidz, Ibnu Majah dll]. Sementara 3 hari diambil dari tebusan sumpah, sebab puasa 3 hari adalah paling sedikit dari kaffarat” (Nihayat Al-Muhtaj 7/458) Mensyukuri Hari Kelahiran Dengan Puasa Diantara nikmat dari Allah kepada kita adalah kita terlahir ke dunia ini pada hari tertentu. Maka sah-sah saja kita mensyukuri di hari tersebut dengan puasa secara Mutlaq (sunah Mutlaq) seperti dalam hadis-hadis diatas, tidak dengan niat puasa weton.
Sebagaimana disampaikan ahli hadis Ibnu Rajab Al-Hanbali berikut :
وَلَكِنِ الْأَيَّامُ الَّتِي يَحْدُثُ فِيْهَا حَوَادِثُ مِنْ نِعَمِ اللهِ عَلَى عِبَادِهِ لَوْ صَامَهَا بَعْضُ النَّاسِ شُكْرًا مِنْ غَيْرِ اتِّخَاذِهَا عِيْدًا كَانَ حَسَنًا اِسْتِدْلَالًا بِصِيَامِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَاشُوْرَاءَ لَمَّا أَخْبَرَهُ الْيَهُوْدُ بِصِيَامِ مُوْسَى لَهُ شُكْرًا ، وَبِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا سُئِلَ عَنْ صِيَامِ يَوْمِ الْاِثْنَيْنِ قَالَ : " ذَلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ وَأُنْزِلَ عَلَيَّ فِيْهِ " (فتح الباري لابن رجب ج ١ / ص ٨٨)
|
“Akan tetapi hari-hari yang ada kejadian dari nikmat Allah kepada hambanya, jika dilakukan puasa oleh sebagian orang sebagai bentuk syukur tanpa menjadikan sebagai perayaan, maka bagus. Selaras dengan dalil ketika Nabi berpuasa di hari Asyura yang dikabarkan oleh Yahudi dengan puasanya Nabi Musa karena bentuk syukur. Dan dengan sabda Nabi saat ditanya tentang puasa hari Senin, maka beliau menjawab: “Itu adalah hari dimana aku dilahirkan dan diberikan wahyu kepadaku” (Fath Al-Bari 1/88).
Ulil Albab Djalaluddin
Alumni Al Falah Ploso Kediri